FOTO-FOTO

FOTO-FOTO
MY FAMILY

Rabu, 02 Februari 2011

Sistem Rasionalitas Ekonomi

Sistem Rasionalitas Ekonomi: Pergulatan di Ruang Gagasan dan Akibatnya Pada Sistem Ekonomi Masyarakat
Oleh: Muhammad Syukur
Menurut prinsip ekonomi neoklasik, asumsi dasar yang memotivasi manusia dalam melakukan tindakan ekonomi adalah pencapaian manfaat (utility) yang maksimum. Persoalan untung rugi merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan (cost – benefit ratio). Jika keuntungan ada di depan mata, maka seseorang akan meraihnya meski harus melanggar nilai dan norma atau agama sekalipun. Sebaliknya, jika kerugian akan di dapat, maka ia tidak melakukan tindakan tersebut. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas formal. Dalam mengejar tujuan tersebut, berbagai tindakan manusia dibangun dengan menggunakan sumber daya, organisasi, sarana, dan teknik yang tersedia. Maksimalisasi ekonomi (keuntungan) merupakan penciri cara berpikir neoklasik dalam melihat homo economicus. Kubu ini biasa pula disebut undersocialized. Sedangkan kubu lainnya yaitu oversocialized sebaliknya menyatakan bahwa tindakan ekonomi dituntun oleh aturan berupa nilai dan norma-norma yang diinternalisasikan melalui proses sosialisasi.
Granovetter mengambil jalan tengah diantara dua kubu yang saling bertentangan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi secara sosial berada dan tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu dan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai bentuk tindakan sosial, tindakan ekonomi tertanam di jaringan hubungan pribadi dan institusi sosial ketimbang yang dilakukan oleh aktor. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas sosial. Dari perspektif ini sangat jelas bahwa tindakan ekonomi, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari pencarian persetujuan, status, keramahan, dan kekuasaan. Hal ini disebabkan karena perilaku manusia, termasuk tindakan ekonomi dan atributnya, harus selalu sesuai dengan norma-norma yang berfungsi sebagai pengontrol tindakan aktor. Dengan kata tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam hubungan sosial dan struktural yang sedang berlangsung dari kalangan para aktor (Granovetter, 1985; 1992).
Granovetter juga tidak setuju dengan konsep dikhotomi keterlekatan dan ketidakterlekatan (embbedded – disembedded) dari Polanyi. Menurut Polanyi, tindakan ekonomi dalam masyarakat pra-industri melekat dalam institusi sosial, politik, dan agama. Kehidupan ekonomi diatur oleh resiprositas dan redistribusi. Sedangkan dalam masyarakat modern kegiatan ekonomi tidak melekat dalam masyarakat, tetapi diatur oleh mekanisme pasar dan terpisah dengan struktur sosial lainnya (self regulation market). Selanjutnya Granovetter mengusulkan bahwa tindakan ekonomi berlangsung di antara keterlekatan kuat (underembedded) dan keterlekatan lemah (overembedded). Sedangkan Booth (1994) dengan gagasan ekonomi moralnya mengatakan bahwa tindakan ekonomi melibatkan pola tertentu dalam hubungan antar sesama manusia dan dengan ilmu pengetahuan. Tindakan ekonomi seharusnya menciptakan harmoni dan keseimbangan reflektif dalam masyarakat. Kekayaan seharusnya merupakan instrumen untuk melayani kepentingan orang banyak bukan untuk dinikmati sendiri.
Gambaran mengenai bagaimana tindakan rasional ekonomi melekat dalam hubungan sosial dan struktural sosial yang sedang berlangsung di kalangan para aktor dapat ditelusuri melalui tindakan ekonomi dalam kasus; pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan (internal solidarity) para migran Dominika yang ada New York dan migran Kuba di Miami (Portes dan Sensenbrenner, 1993); ikatan patronase antara pelindung (patron) dan klien, sebagai suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dikalangan masyarakat petani di Asia Tenggara (Scoot, 1972; 1981); kemiskinan berbagi (shared poverty) di kalangan petani miskin di Jawa (Geertz, 1984; 1963).
Nasib ekonomi imigran sebagaimana digambarkan oleh Portes dan Sensenbrenner (1993), sangat tergantung pada struktur sosial di mana mereka berada, khususnya pada karakter masyarakat mereka sendiri. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan pinjaman dari lembaga keuangan formal disiasati oleh imigran Dominika dan Kuba di USA dengan masing-masing mendirikan lembaga keuangan informal. Pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan migran dilaksanakan oleh lembaga perbankan informal atas dasar reputasi pribadi penerima pinjaman tanpa adanya jaminan surat-surat atau barang yang berarti. Pelanggaran terhadap kesepakatan pinjam-meminjam biasa dilakukan dengan cara mengucilkan si pelanggar dari komunitasnya. Kepercayaan (trust) dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya. Moral transaksi ekonomi yang dipandu oleh keharusan nilai yang dipelajari selama proses sosialisasi.
Berbeda halnya dengan strategi yang dijalan imigran Dominika dan Kuba, perilaku ekonomis petani di Asia Tenggara bersumber pada kenyataan bahwa perjuangan untuk memperoleh hasil yang minimun bagi subsistensinya, berlangsung dalam konteks kekurangan tanah, modal dan lapangan kerja diluar sektor pertanian (Scott, 1981. Merupakan hal yang wajar, bahwa petani yang setiap musim bergulat dengan lapar dan segala konsekwensinya, mempunyai pandangan yang agak berbeda tentang masalah mengambil resiko dibanding penanam modal yang bermain di tingkat atas. Menurut Scott, posisi kebanyakan petani di Asia Tenggara yang berjalan ditepi zona krisis subsistensi membuat kebanyakan petani kecil dan buruh tani menganut etika dahulukan selamat (safety first). Petani juga selalu mendapati dirinya tergantung pada belas kasihan alam yang banyak ulahnya. Kondisi petani yang rawan resiko-resiko yang tak dapat dielakkan karena teknik-tekniknya yang terbatas dan ulah cuaca yang tidak menentu sehingga petani cenderung menerapkan strategi meminimalkan resiko (Averse to Risk). Scott, menjelaskan bahwa preferensi petani terhadap ekonomi, sosial, dan politik yang cenderung menyukai pendapatan yang relatif rendah tapi pasti, ketimbang hasil yang lebih tinggi tetapi resikonya juga tinggi.
Scoot (1972) mengemukakan bahwa terdapat pola-pola yang melembaga dalam komunitas petani untuk memenuhi kebutuhannya yang minimun. Prinsip resiprositas mengatur tingkah laku-laku sehari-hari, dimana etika subsistensi memperoleh pengungkapannya. Semua keluarga di dalam desa akan dijamin subsistensi minimalnya selama sumber daya yang dikuasai oleh warga desa memungkinkannya. Egalitarianisme desa dalam pengertian tersebut adalah konservatif dan tidak radikal, ia mempunyai tuntutan agar semua orang memperoleh nafkah, bukan agar semua orang sama rata mendapatkan nafkah. Sanak saudara berkewajiban untuk menolong seorang kerabat dekat yang sedang dalam kesulitan, akan tetapi mereka tidak menawarkan yang lebih dari sumber daya yang mereka miliki. Demikian pula halnya dengan tetangga terdekat dan kerabat. Secara ideal, kaum elitpun (patron) harus memainkan peranan sebagai pelindung yang mempunyai persamaan dengan pola-pola kegotong-royongan di desa. Ikatan antara pelindung (patron) dan klien, merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dikalangan masyarakat petani di Asia Tenggara.
Seorang petani terkadang lebih mengandalkan bantuan dari sanak saudara, kerabat atau patronnya daripada sumberdayanya sendiri. Sanak saudara, kerabat, dan patron yang telah menolongnya dalam kesulitan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka sendiri dalam kesulitan. Jadi, terdapat semacam konsensus yang tak diucapkan mengenai resiprositas. Bantuan yang mereka berikan dapat disamakan dengan uang yang di simpan di bank untuk digunakan nanti apabila mereka sendiri dalam kesulitan. Inilah yang disebut Scott sebagai asuransi desa.
Menurut Scott legitimasi pelindung (patron) tidak bersifat linear dalam proses pertukaran dengan pihak klien/petani. Ada batas tertentu dimana terjadi perubahan-perubahan tajam terhadap legitimasi patron. Secara khusus, persyaratan minimal yang dituntut oleh petani/klien adalah keamanan fisik dan keterjaminan mata pencaharian subsisten. Harapan ini adalah akar dari "moral ekonomi paternalis" kaum tani/klien yang dilandasi konsepsi keadilan dan kesetaraan. Pelanggaran terhadap persyaratan minimum tersebut menyebabkan hubungan pertukaran antara patron dan klien menjadi terganggu yang bisa berakibat melemahnya legitimasi kelas pelindung/patron atas petani/klien. Klien/petani dalam kondisi seperti itu, bisa mencari pelindung lainnya yang bisa memberikan kerterjaminan fisik dan mata pencaharian subsisten mereka.
Geertz (1983) mengemukakan bahwa upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang. Pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang, hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara tekanan penduduk atas tanah dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan tesis involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif dan terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam.
Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal. Petani di Jawa selalu mendapati dirinya selalu merasa serba kekurangan dan harus berbagi dengan sesama. Untuk bertahan hidup, maka petani menemukan suatu cara membagi kue ekonomi yang jumlahnya terbatas dengan jalan potongan-potongan kecil dalam jumlah banyak agar semua mendapat bagian. Petani di Jawa melakukan tindakan ekonomi yang melekat dalam jaringan sosial dan struktural yang dihadapinya dengan menerapkan apa yang disebut Geertz sebagai etika shared poverty (kemiskinan berbagi). Adanya rintangan budaya (culture-as-obstacle) atau rangsangan budaya (culture-as-stimulus) menyebabkan petani di Jawa cenderung fatalistik (pasrah pada nasib) sehingga ia sulit untuk keluar jerat kemiskinan. Involusi pertanian tampaknya menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, sehingga selalu sibuk beradaptasi internal demi kelangsungan sistem sosial mereka.
Gambaran mengenai pertarungan tindakan rasionalitas formal versus rasionalitas sosial dalam tindakan aktor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.
Perbandingan Bentuk Tindakan Aktor Ekonomi Antara Rasionalitas Formal Vs Rasionalitas Sosial
RASIONALITAS FORMAL RASIONALITAS SOSIAL
- Cost and Benefit atau Utility - Moral dan Etika (nilai-nilai dan norma-
norma sosial budaya).
- Self Interes (kepentingan individu) - Solidaritas atau kepentingan masyarakat
umum, kelompok atau komunitas (Seka di
Bali, ZIS = zakat – infak dan sedekah
dalam etika islam/muslim ethic)
- Eksploitasi - Asuransi sosial atau Resiprositas
- Menerabas - Fatalistik (pasrah pada nasib), Dahulukan
selamat (security first) meminimalkan
resiko (Averse to Risk)
- Orientasi masa depan - Orientasi masa sekarang
- Maksimalisasi Keuntungan/ - Kemiskinan berbagi (shared poverty),
Akumulasi Modal saling ketergantungan (dependent relation
ethic/patronase ethic). paternalis ethic

Dengan mengutip pandangan Geertz, Portes dan Sensenbrenner menunjukkan dampak negatif dari keterlekatan individu dalam kehidupan kolektifnya, sebagaimana kasus Seka di Bali. Kehidupan sosial di Bali didasarkan pada kelompok-kelompok yang disebut seka. "Nilai kesetiaan seka, menempatkan kebutuhan kelompok di atas kepentingan pribadi. Meskipun kewirausahaan sangat dihargai dalam komunitas ini, pengusaha sukses menghadapi masalah klaim banyak orang pada keuntungan yang mereka dapatkan. Harapan bahwa keputusan ekonomi "akan mengarah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan". Bandingkan dengan muslim ethic yang tertuang dalam konsep Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Dimana dibalik harta atau kekayaan seorang muslim, melakat padanya bahagian orang miskin (mustahik).
Perubahan hubungan patron-klien di Asia Tenggara sebagaimana yang dikemukakan oleh Scoot, terjadi di arena hubungan sosial, politik dan ekonomi. Secara sederhana, hubungan patron-klien sangat tergantung pada posisi tawar relatif dari kedua pihak; seberapa jauh klien tidak membutuhkan bantuan dan perlindungan dari patron, dan sebarapa jauh patron tidak membutuhkan bantuan tenaga dan jasa dari klien? Posisi tawar relatif dari masing-masing pihak, pada gilirannya, sangat dipengaruhi oleh perubahan struktural seperti kelangkaan tanah, peralihan ke pertanian komersial, perluasan kekuasaan negara, dan pertumbuhan penduduk. Struktural sosial di Asia Tenggara pra-kolonial cenderung untuk membatasi tingkat ketergantungan pribadi dan untuk mencegah keseimbangan pertukaran yang bergerak secara radikal demi patron. Ketersediaan mekanisme sosial alternatif seperti kerabat dalam desa, keberadaan tanah yang tidak diklaim, dan tidak adanya dukungan luar yang kuat untuk pemegang kekuasaaan lokal, berfungsi untuk memberikan jaminan minimal untuk klien/petani.
Terjadinya perubahan politik dan ekonomi di bawah pemerintahan kolonial, secara sistematis menggerogoti pertukaran dan posisi tawar relatif klien/petani, khususnya di daerah dataran rendah yang paling terpengaruh oleh administrasi kolonial dan pertanian pasar. Seiring dengan semakin terstratifikasi dan terpolarisasinya serta masuknya sistem monetesisasi dalam kehidupan masyarakat di pedesaan membuat hubungan resiprositas dan eksploitasi antara patron dan klien secara perlahan mulai mengendur. Hubungan sosial ekonomi di desa mulai diatur oleh mekanisme pertukaran uang/upah. Akibatnya, jaminan sosial dari ketergantungan pribadi klien atas patron mulai mengendur sehingga legitimasi patronpun semakin memudar.
Kasus di Amerika Latin menunjukkan bahwa pemilik toko-toko garmen dan tukang kulit di Andes Ekuador rela menggeser kesetiaan keagamaan (dari katolik ke protestan), demi untuk menghapus kewajiban sosial yang berhubungan dengan gereja Katolik dan organisasi-organisasi lokal. Alasannya, bahwa etika Protestan mendorong mereka untuk pencapaian kewirausahaan lebih besar atau mereka menemukan doktrin Injil lebih kompatibel dengan usaha mereka. Norma kolektif, dan solidaritas masyarakat sering membatasi ruang lingkup tindakan pribadi sebagai biaya akses terhadap sumber daya ekonomi.
Kasus lainnya menunjukkan bahwa konflik yang dialami oleh remaja Haiti di Amerika terpecah antara harapan orang tua untuk sukses melalui pendidikan dan budaya pemuda dalam kota yang menyangkal hal seperti itu. Orang tua Haiti ingin anak-anak mereka untuk melestarikan budaya dan bahasa mereka ketika mereka beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Namun, karena keterbatasan biaya anak-anak Haiti harus bersekolah di tempat yang mensosialisasikan nilai-nilai yang berbeda dengan harapan orang tuanya. Mereka sering diejek sama teman-teman karena aksen Haiti mereka, sehingga banyak diantara anak-anak Haiti tersebut melebur dengan nilai-nilai yang dibawah teman-teman Amerika-nya. Ketika hal ini terjadi, modal sosial berdasarkan jaringan komunitas imigran menjadi hilang. Sejauh bahwa solidaritas masyarakat secara eksklusif didasarkan pada pandangan yang berlawanan dengan mainstream, mereka yang berusaha untuk membuatnya melalui cara konvensional seringkali dipaksa untuk mengadopsi pendapat mayoritas yang bertentangan dengan kelompok mereka sendiri.
Berbagai kasus menunjukkan adanya pergeseran rasionalitas sosial ke rasionalitas formal seperti yang terjadi pada kasus Amerika Latin, Asia Tenggara, Bali dan Jawa sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Pergeseran rasional tersebut lebih disebabkan karena kemapanan ekonomi yang dialami oleh masing-masing aktor ekonomi di level atas. Sedangkan sebagian besar aktor ekonomi yang belum mapan secara ekonomi (level bawah) tetap setia dengan rasionalitas sosial untuk kasus-kasus Amerika Latin, Asia Tenggara, Bali dan Jawa seperti yang terdapat pada bacaan yang dikaji.

Daftar Pustaka
Booth, W. J. 1994. On the Idea of Moral Economy. The American Political Science Review, Vol. 88/3, pp. 653-667.

Granovetter, M. 1985. “Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness. American Journal of Sociology”. Vol. 91, pp. 481-510.

Granovetter, M., & Sweddberg, Richard (edit). 1992. The Sociology of Economic Life. Boulder, San Francisco, Oxford: Westview Press.

Geertz, C. 1983. “Culture and Social Change: The Indonesian Case”. Man, Vol. 19. pp. 511-532.

_____,.1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Portes, A. and Sensenbrenner. J. 1993. “Embeddedness and Immigration: Notes on the Social Determinants of Economic Action”. American Journal of Sociology, Vol. 98/6, pp. 1320-50
Scott, J.C. 1972. “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia”. Journal of Asian Studies, Vol. 32/1, pp. 5-37.

_____,. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Diterjemahkan Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.

REVIEW ARTIKEL: PAK BAHARI: SEORANG PETANI PENGUSAHA PADI DI MALAYSIA

PAK BAHARI: SEORANG PETANI PENGUSAHA PADI DI MALAYSIA
Hasil Penelitian: Dr. Musa Abu Hassan dari University Putra Malaysia
Sumber : Beras Di Asia (Kisah Kehidupan Tujuh Petani)
Penerbit : Universitas Sumatera Utara Press, Tahun 2002

A. Pendahuluan
Penelitian yang dilakukan Dr. Musa Abu Hassan bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan petani di Malaysia dengan mengambil satu orang subyek penelitian yaitu Pak Bahari merupakan suatu pilihan tepat. Hal ini didukung oleh metodologi yang digunakan. Dalam hal penentuan subyek penelitian, peneliti memilih petani yang menanam padi sepanjang tahun dengan sistem irigasi dibandingkan petani tadah hujan. Pilihan ini dilakukan disebabkan karena di daerah pertanian dengan sistem irigasi dapat menjamin adanya petani yang secara langsung terlibat dalam budidaya padi. Terdapat tujuh wilayah daerah irigasi dan drainase yang cukup memadai di Malaysia. Peneliti hanya memilih salah dari ketujuh daerah tersebut yaitu Proyek Irigasi Barat Laut Selangor (PBLS) sebagai lokasi penelitian disebabkan karena petani di ketujuh wilayah itu realtif homogen sehingga dimanapun di pilih sebagai lokasi penelitian tidak merupakan suatu masalah secara metodologis. Pilihan terhadap PBLS sebagai lokasi juga karena pertimbangan dekatnya lokasi penelitian dengan Universitas tempat dimana peneliti bekerja. Sehingga dengan demikian setiap saat, peneliti dapat berkunjung ke lokasi penelitian dan menemui subyek penelitiaannya.
Setelah penelitian ditentutkan, maka penelitian menghubungi informan kuncinya yaitu pegawai otoritas PBLS. Setelah itu, dilakukan identifikasi lahan wilayah yang spesifik dan petani yang potensial untuk dijadikan lokasi dan subyek penelitian. Akhirnya dipilih Kampung Sungai Sireh sebagai lokasi penelitian dan pak Bahari sebagai subyek penelitian. Semula tim penelitia diperhadapkan pada dua pilihan petani yaitu pak Bahari, dan satu lagi petani berumur 70 yang kebanyakan hasil pertaniannya lebih tanaman sayur. Pilihan terhadap Pak Bahari disebabkan karena ia seorang petani padi yang progress sehingga tepat untuk menggambarkan kondisi petani dan pertanian di Malaysia secara keseluruhan. Kemudian metode life history digunakan untuk menggambaran kesuksesan aktor itu dalam perjuagannya.
B. Riwayat Pak Bahari
Pak Bahari atau nama lengkapnya Saiful Bahari Bin Abdul Azis, adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Kedua kakaknya sudah kawin dan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan adik laki-lakinya yang nomor empat bekerja sebagai sopir, adik kelimanya seorang perempuan kawin pegawai bank. Adik laki-laki nomor baru saja menyelesaikan sekolah lanjutan pertama, dan yang bungsu adalah laki-laki baru saja masuk di Sekolah lanjtan pertama. Pendidikan pak Bahari sendiri hanya sampai tamat sekolah lanjutan dan tidak ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan alasan ingin membantu orang tuanya. Atas dasar itu, pak Bahari bekerja pada perusahaan telekomunikasi dan dibayar 14 ringgit per hari ditambah akomodasi dan konsumsi. Berdasarkan pekerjaan tersebut, pak Bahari meninggalkan desanya dan bekerja memasang kabel pada berbagai wilayah. Namun karena tidak tahan menderita di kampung orang, akhirnya pak Bahari kembali ke Kampungnya dan memilih untuk menjadi petani. Banyak pengalaman yang di dapat pak Bahari selama bekerja di perusahaan telekomonikasi tersebut dan ia juga sering membantu orang tunya dari gaji yang dia terima.
Pak Bahari kawin dengan seorang gadis yang bernama Fauziah Binti Ismail dan sekarang dikaruniadua orang anak yaitu Ridzuan Shah (7 tahun) dan seorang putri bernama Anis Atira. Bersama pak Bahari, istri dan anak-anakanya juga tinggal ibu dan dua orang adik laki-lakinya. Pak tinggal dirumah warisan ayahnya yang dia pugar pada tahun 1999 dengan biaya 7.000 ringgit.
C. Pilihan Untuk Jadi Petani
Pilihan pak Bahari untuk menjadi seorang petani didasarkan atas pengalaman dia bekerja selama 3 tahun di perusahaan telekomunikasi yang memebawanya ke Pahang yang berjarak 395 km dan juga ke Kota Tinggi, Johor yang berjarak 480 km dari desanya. Pak Bahari dan teman-teman kerjanya kesulitan mendapatkan makanan ketika ia bekerja di tempat terpencil. Pengalaman tersebut membuat pak Bahari menjatuhkan pilihan untuk kembali ke desanya dan memilih menjadi seorang petani. Pak Bahari yakin bahwa di desanya banyak tersedia makanan disamping itu pula ia bisa lebih dekat dengan keluarga.
D. Gambaran Perubahan Struktur sosial dan Fungsi
Dalam menggambarkan perubahan struktur sosial pertanian dan petani, maka dalam hal ini penulis berangkat dari adanya proyek Proyek Irigasi Barat Laut Selangor (PBLS) di desa Pak Bahari. Proyek Irigasi Barat Laut Selangor (PBLS) diresmikan pada tanggal 6 juni 1978. Menurut pak Bahari, sejak umur 11 tahun (1970-an) ia sudah sering membantu ibunya disawah. Ia menyiapkan lahan dengan menggunakan cangkul secara manual dan memakan waktu sekitar satu minggu. Setelah traktor tangan masuk hanya dibutuhkan satu hari dengan biaya 40 ringgit. Luas areal persawahan yang dimiliki oleh pak Bahari adalah 1,21 ha, ia juga memiliki kegiatan lain yang bisa menghasilkan pendapatan tambahan dengan menjadi seorang petani pengusaha padi. Pak Bahari biasa memperoleh hasil panen sebesar 20 – 25 karung padi dari sawah miliknya. Sejak adanya proyek irigasi PBLS didesanya produksi padi pak Bahari meningkat menjadi 6 ton. Total penghasilan bersih Pak Bahari dari hasil pertanian termasuk upah kerja kerja dari petani lainnya dan upah angkut kepala sawit sebesar 12.000 ringgit per tahun, dimana hasil penen padi menyumbang sekitar 7.000 ringgit. Sebagian penghasilan pak Bahari dikeluarkan untuk biaya perawatan kendaraan, pajak jalan raya, asuransi dan minyak. Terkait dengan pendapatan dari hasil padi, ia harus mengeluarkan sekitar 1.500 ringgit untuk biaya persiapan lahan, pembelian bibit, insektisida, pestisida, pupuk kimia, dan mesin penuai. Pak Bahari juga memiliki gerai (warung) yang dikelolah istrinya. Gerai tersebut menyediakan berbagai macam kue.
Pak Bahari menuturkan bahwa sebelum adanya PBLS di desanya, padi ditanam dengan menggunakan metode pemindahan (transplanting method), hama dikendalikan dengan menabur arang dapur di atas tanaman padi dengan menggunakan daun kelapa. Panen dilakukan dengan menggunakan sabit, dan ikatan padi dibanting ke dalam sebuah drum. Selanjuntnya padi dijual ke penggilingan padi setempat dan sebagian lagi disimpan untuk kebutuhan keluarga. Kerjasama dalam bentuk gotong royong dalam menyiapkan lahan pertanian dari satu sawah ke sawah lainnya merupakan suatu yang lazim dilakukan oleh penduduk desa. Kerjasama tersebut melibatkan keluarga, tetangga dan kerabat. Pada waktu itu belum ada traktor untuk membajak sawah, sehingga manusia dan kerbau merupakan sumber tenaga kerja di bidang pertanian. Demikian juga dengan saluran irigasi jumlahnya masih sedikit dan dibangun dengan swadaya masyarakat. Semangat kerjasama membuat musim tanam padi jadi serentak. Untuk menunjukkan solidaritas dan semarak musim pertanian, maka petani sering mengadakan pertemuan dan acara parayaan.
Terdapat dua musim tanam padi di desa pak Bahari yaitu musim tanam pertama 1 februari dan musim tanam kedua tanggal 1 juli. Kegiatan pertanian padi sawah di daerah Pak Bahari meluputi 4 tahap yaitu: 1) persiapan lahan; 2) penanaman padi; 3) pengelolaan lahan; 4) memanen padi. Kegiatan pengelolaan lahan pada saat ini lebih banyak menggunakan tenaga mesin. Biaya pengolahan lahan sebesar 220 ringgit. Biasanya pekerjaan mengolah lahan tersebut berlangsung selama dua jam dengan menggunakan traktor, satu hari kerja jika menggunakan trakor tangan, dan satu minggu jika menggunakan tenaga manusia dengan cangkul.
Pak Bahari menggunakan padi varietas MR 185, salah satu varietas yang dianjurkan oleh manajemen proyek. Untuk lahan miliknya, ia membutuhkan sekitar 180-200 kg bibit. Cara-cara pembibitan tetap sama dengan dahulu yaitu padi direndam dalam karung selama dua hari lalu semai pada pada lahan yang sudah disiapkan. Setelah tiga hari disemai, pak Bahari biasanya manaburkan herbisida tahap pertama untuk menghindari adanya parasit yang akan mengganggu pertumbuhan padi. Setelah dua minggu, lalu diberikan pupuk kimia tahap pertama untuk merangsang pertumbuhan padi. Dua minggu setelah pemupukan pertama, lalu disemprotkan insektisida dan pestisida ke tanaman padi agar penyakit dan hama tidak mengganggu pertumbuhan padi. Setelah dua hari penyemprotan lalu dibersihkan alang-alang yang tumbuh bersama tanaman padi. Pemberian pupuk tahap kedua dilakukan setelah padi berumur enam minggu. Tahap terakhir pemupukan diberikan setelah padi berumur 80 hari.
Menurut pak Bahari, padi siap dipanen setelah berumur 100-120 hari. Zat kimia berupa pupuk dan racun, merupakan anjuran dari menejemen proyek dan diberikan kepada petani sebagai bagian dari program subsidi pemerintah. Adanya PBLS membuat masyarakat di kampung Sungai Sireh juga sudah mengenal adanya sistem pertanian komersial. Sistem pertanian komersial tersebut terlihat dari adanya sistem sewa dalam pengolahan lahan, sewa panen, dan sewa angkutan hasil panen. Pak Bahari termasuk salah seorang petani yang sering menerima sewa hasil panen dan sewa angkutan hasil panen dari petani lainnya. Hal ini disebabkan karena pak Bahari memiliki mesin penuai padi dan mobil angkutan yang biasa digunakan juga dalam mengakut kelapa sawit.
Kendala yang sering dialami pak Bahari dan petani lainnya pada saat ini adalah malasah fasilitas fisik. Sistem pengolahan sawah dengan menggunakan traktor sering menimbulkan lubang yang cukup dalam, sehingga padi susah tumbuh. Kondisi itu bisa menyebabkan produktifitas padi menurun. Sedangkan masalah lainnya yaitu jalan di sekitar sawah sering licin ketika musim hujan sehingga susah dijalani kendaraan untuk mengangkut padi.
Pak Bahari terlibat dalam berbagai organisasi. Salah satu diantaranya adalah anggota organisasi petani wilayah yang bernama Dewan Keamanan dan Pembangunan Desa (jawatan Kemajuan dan Keselamatan Kampung – JKKK). Sekitar 90 % petani bergabung dalam organisasi tersebut. Salah satu tugas pokok organisasi adalah mengikuti pengarahan pegawai proyek PBLS menyangkut jadwal penanaman padi yang sesuai persiapan lahan dan distribusi air. Sebagai anggota asosiasi, petani dibolehkan membajak lahan dan memanen padi sesuai pagu kredit. Seorang pegawai kantor perkumpulan tersebut akan mencatat semua transaksi yang diajukan petani. Setelah panen, setiap anggota perkumpulan diminta untuk menyerahkan secara langsung hasil penjualan panen mereka ke rekening asosiasi. Selanjutnya petani dapat mengklaim uang mereka setelah semua pengeluaran dikurangi. Petani menerima penuh jumlah subsidi padi setelah menyerahkan kupon ke kantor asosiasi dan pembayarannya akan diserahkan oleh Bernas (semacam BULOG di Indonesia). Bernas ini juga menjamin tingkat harga gabah dan beras di tingkat petani.
Budaya Melayu tidak dilepaskan dari masalah padi. Karena padi yang diolah menjadi beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat. Berbagai fungsi beras dan nasi dalam kehidupan masyarakat tetap bertahan sampai pada saat ini. Fungsi beras sebagai makanan pokok, bahan pembuatan berbagai macam kue dan lain-lain tetap bertahan di masyarakat sampai pada saat ini. Justru fungsi nasi semakin makanan yang dulu hanya dikonsumsi di rumah tangga, maka saat ini justri beberapa jenis masakan yang terbuat dari beras sudah dihidang oleh berbagai restoran di Malaysia.
Peran media massa dalam mensukseskan pembangunan pertanian di Malaysia sangat besar. Berbagai siaran televisi dan radio di rancang untuk merangsang para petani untuk mengembangkan usaha pertanian mereka. Demikian juga halnya berbagai pelatihan untuk yang dilaksanakan oleh pemerintah turut memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan petani dan pertanian di Malaysia.
E. Penutup
Masuknya Proyek Irigasi Barat Laut Selangor (PBLS) di Desa Pak Bahari menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan stuktur sosial dalam kehidupan masyarakat petani. Perubahan itu nampak terjadi pada bidang sosial dan budaya, ekonomi, tekhnologi, dan kelembagaan dalam masyarakat. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut penulis sajikan bentuk tabel (terlampir).