Sistem Rasionalitas Ekonomi: Pergulatan di Ruang Gagasan dan Akibatnya Pada Sistem Ekonomi Masyarakat
Oleh: Muhammad Syukur
Menurut prinsip ekonomi neoklasik, asumsi dasar yang memotivasi manusia dalam melakukan tindakan ekonomi adalah pencapaian manfaat (utility) yang maksimum. Persoalan untung rugi merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan (cost – benefit ratio). Jika keuntungan ada di depan mata, maka seseorang akan meraihnya meski harus melanggar nilai dan norma atau agama sekalipun. Sebaliknya, jika kerugian akan di dapat, maka ia tidak melakukan tindakan tersebut. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas formal. Dalam mengejar tujuan tersebut, berbagai tindakan manusia dibangun dengan menggunakan sumber daya, organisasi, sarana, dan teknik yang tersedia. Maksimalisasi ekonomi (keuntungan) merupakan penciri cara berpikir neoklasik dalam melihat homo economicus. Kubu ini biasa pula disebut undersocialized. Sedangkan kubu lainnya yaitu oversocialized sebaliknya menyatakan bahwa tindakan ekonomi dituntun oleh aturan berupa nilai dan norma-norma yang diinternalisasikan melalui proses sosialisasi.
Granovetter mengambil jalan tengah diantara dua kubu yang saling bertentangan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi secara sosial berada dan tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu dan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai bentuk tindakan sosial, tindakan ekonomi tertanam di jaringan hubungan pribadi dan institusi sosial ketimbang yang dilakukan oleh aktor. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas sosial. Dari perspektif ini sangat jelas bahwa tindakan ekonomi, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari pencarian persetujuan, status, keramahan, dan kekuasaan. Hal ini disebabkan karena perilaku manusia, termasuk tindakan ekonomi dan atributnya, harus selalu sesuai dengan norma-norma yang berfungsi sebagai pengontrol tindakan aktor. Dengan kata tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam hubungan sosial dan struktural yang sedang berlangsung dari kalangan para aktor (Granovetter, 1985; 1992).
Granovetter juga tidak setuju dengan konsep dikhotomi keterlekatan dan ketidakterlekatan (embbedded – disembedded) dari Polanyi. Menurut Polanyi, tindakan ekonomi dalam masyarakat pra-industri melekat dalam institusi sosial, politik, dan agama. Kehidupan ekonomi diatur oleh resiprositas dan redistribusi. Sedangkan dalam masyarakat modern kegiatan ekonomi tidak melekat dalam masyarakat, tetapi diatur oleh mekanisme pasar dan terpisah dengan struktur sosial lainnya (self regulation market). Selanjutnya Granovetter mengusulkan bahwa tindakan ekonomi berlangsung di antara keterlekatan kuat (underembedded) dan keterlekatan lemah (overembedded). Sedangkan Booth (1994) dengan gagasan ekonomi moralnya mengatakan bahwa tindakan ekonomi melibatkan pola tertentu dalam hubungan antar sesama manusia dan dengan ilmu pengetahuan. Tindakan ekonomi seharusnya menciptakan harmoni dan keseimbangan reflektif dalam masyarakat. Kekayaan seharusnya merupakan instrumen untuk melayani kepentingan orang banyak bukan untuk dinikmati sendiri.
Gambaran mengenai bagaimana tindakan rasional ekonomi melekat dalam hubungan sosial dan struktural sosial yang sedang berlangsung di kalangan para aktor dapat ditelusuri melalui tindakan ekonomi dalam kasus; pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan (internal solidarity) para migran Dominika yang ada New York dan migran Kuba di Miami (Portes dan Sensenbrenner, 1993); ikatan patronase antara pelindung (patron) dan klien, sebagai suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dikalangan masyarakat petani di Asia Tenggara (Scoot, 1972; 1981); kemiskinan berbagi (shared poverty) di kalangan petani miskin di Jawa (Geertz, 1984; 1963).
Nasib ekonomi imigran sebagaimana digambarkan oleh Portes dan Sensenbrenner (1993), sangat tergantung pada struktur sosial di mana mereka berada, khususnya pada karakter masyarakat mereka sendiri. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan pinjaman dari lembaga keuangan formal disiasati oleh imigran Dominika dan Kuba di USA dengan masing-masing mendirikan lembaga keuangan informal. Pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan migran dilaksanakan oleh lembaga perbankan informal atas dasar reputasi pribadi penerima pinjaman tanpa adanya jaminan surat-surat atau barang yang berarti. Pelanggaran terhadap kesepakatan pinjam-meminjam biasa dilakukan dengan cara mengucilkan si pelanggar dari komunitasnya. Kepercayaan (trust) dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya. Moral transaksi ekonomi yang dipandu oleh keharusan nilai yang dipelajari selama proses sosialisasi.
Berbeda halnya dengan strategi yang dijalan imigran Dominika dan Kuba, perilaku ekonomis petani di Asia Tenggara bersumber pada kenyataan bahwa perjuangan untuk memperoleh hasil yang minimun bagi subsistensinya, berlangsung dalam konteks kekurangan tanah, modal dan lapangan kerja diluar sektor pertanian (Scott, 1981. Merupakan hal yang wajar, bahwa petani yang setiap musim bergulat dengan lapar dan segala konsekwensinya, mempunyai pandangan yang agak berbeda tentang masalah mengambil resiko dibanding penanam modal yang bermain di tingkat atas. Menurut Scott, posisi kebanyakan petani di Asia Tenggara yang berjalan ditepi zona krisis subsistensi membuat kebanyakan petani kecil dan buruh tani menganut etika dahulukan selamat (safety first). Petani juga selalu mendapati dirinya tergantung pada belas kasihan alam yang banyak ulahnya. Kondisi petani yang rawan resiko-resiko yang tak dapat dielakkan karena teknik-tekniknya yang terbatas dan ulah cuaca yang tidak menentu sehingga petani cenderung menerapkan strategi meminimalkan resiko (Averse to Risk). Scott, menjelaskan bahwa preferensi petani terhadap ekonomi, sosial, dan politik yang cenderung menyukai pendapatan yang relatif rendah tapi pasti, ketimbang hasil yang lebih tinggi tetapi resikonya juga tinggi.
Scoot (1972) mengemukakan bahwa terdapat pola-pola yang melembaga dalam komunitas petani untuk memenuhi kebutuhannya yang minimun. Prinsip resiprositas mengatur tingkah laku-laku sehari-hari, dimana etika subsistensi memperoleh pengungkapannya. Semua keluarga di dalam desa akan dijamin subsistensi minimalnya selama sumber daya yang dikuasai oleh warga desa memungkinkannya. Egalitarianisme desa dalam pengertian tersebut adalah konservatif dan tidak radikal, ia mempunyai tuntutan agar semua orang memperoleh nafkah, bukan agar semua orang sama rata mendapatkan nafkah. Sanak saudara berkewajiban untuk menolong seorang kerabat dekat yang sedang dalam kesulitan, akan tetapi mereka tidak menawarkan yang lebih dari sumber daya yang mereka miliki. Demikian pula halnya dengan tetangga terdekat dan kerabat. Secara ideal, kaum elitpun (patron) harus memainkan peranan sebagai pelindung yang mempunyai persamaan dengan pola-pola kegotong-royongan di desa. Ikatan antara pelindung (patron) dan klien, merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dikalangan masyarakat petani di Asia Tenggara.
Seorang petani terkadang lebih mengandalkan bantuan dari sanak saudara, kerabat atau patronnya daripada sumberdayanya sendiri. Sanak saudara, kerabat, dan patron yang telah menolongnya dalam kesulitan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka sendiri dalam kesulitan. Jadi, terdapat semacam konsensus yang tak diucapkan mengenai resiprositas. Bantuan yang mereka berikan dapat disamakan dengan uang yang di simpan di bank untuk digunakan nanti apabila mereka sendiri dalam kesulitan. Inilah yang disebut Scott sebagai asuransi desa.
Menurut Scott legitimasi pelindung (patron) tidak bersifat linear dalam proses pertukaran dengan pihak klien/petani. Ada batas tertentu dimana terjadi perubahan-perubahan tajam terhadap legitimasi patron. Secara khusus, persyaratan minimal yang dituntut oleh petani/klien adalah keamanan fisik dan keterjaminan mata pencaharian subsisten. Harapan ini adalah akar dari "moral ekonomi paternalis" kaum tani/klien yang dilandasi konsepsi keadilan dan kesetaraan. Pelanggaran terhadap persyaratan minimum tersebut menyebabkan hubungan pertukaran antara patron dan klien menjadi terganggu yang bisa berakibat melemahnya legitimasi kelas pelindung/patron atas petani/klien. Klien/petani dalam kondisi seperti itu, bisa mencari pelindung lainnya yang bisa memberikan kerterjaminan fisik dan mata pencaharian subsisten mereka.
Geertz (1983) mengemukakan bahwa upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang. Pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia. Akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang, hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara tekanan penduduk atas tanah dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan tesis involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif dan terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam.
Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal. Petani di Jawa selalu mendapati dirinya selalu merasa serba kekurangan dan harus berbagi dengan sesama. Untuk bertahan hidup, maka petani menemukan suatu cara membagi kue ekonomi yang jumlahnya terbatas dengan jalan potongan-potongan kecil dalam jumlah banyak agar semua mendapat bagian. Petani di Jawa melakukan tindakan ekonomi yang melekat dalam jaringan sosial dan struktural yang dihadapinya dengan menerapkan apa yang disebut Geertz sebagai etika shared poverty (kemiskinan berbagi). Adanya rintangan budaya (culture-as-obstacle) atau rangsangan budaya (culture-as-stimulus) menyebabkan petani di Jawa cenderung fatalistik (pasrah pada nasib) sehingga ia sulit untuk keluar jerat kemiskinan. Involusi pertanian tampaknya menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, sehingga selalu sibuk beradaptasi internal demi kelangsungan sistem sosial mereka.
Gambaran mengenai pertarungan tindakan rasionalitas formal versus rasionalitas sosial dalam tindakan aktor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.
Perbandingan Bentuk Tindakan Aktor Ekonomi Antara Rasionalitas Formal Vs Rasionalitas Sosial
RASIONALITAS FORMAL RASIONALITAS SOSIAL
- Cost and Benefit atau Utility - Moral dan Etika (nilai-nilai dan norma-
norma sosial budaya).
- Self Interes (kepentingan individu) - Solidaritas atau kepentingan masyarakat
umum, kelompok atau komunitas (Seka di
Bali, ZIS = zakat – infak dan sedekah
dalam etika islam/muslim ethic)
- Eksploitasi - Asuransi sosial atau Resiprositas
- Menerabas - Fatalistik (pasrah pada nasib), Dahulukan
selamat (security first) meminimalkan
resiko (Averse to Risk)
- Orientasi masa depan - Orientasi masa sekarang
- Maksimalisasi Keuntungan/ - Kemiskinan berbagi (shared poverty),
Akumulasi Modal saling ketergantungan (dependent relation
ethic/patronase ethic). paternalis ethic
Dengan mengutip pandangan Geertz, Portes dan Sensenbrenner menunjukkan dampak negatif dari keterlekatan individu dalam kehidupan kolektifnya, sebagaimana kasus Seka di Bali. Kehidupan sosial di Bali didasarkan pada kelompok-kelompok yang disebut seka. "Nilai kesetiaan seka, menempatkan kebutuhan kelompok di atas kepentingan pribadi. Meskipun kewirausahaan sangat dihargai dalam komunitas ini, pengusaha sukses menghadapi masalah klaim banyak orang pada keuntungan yang mereka dapatkan. Harapan bahwa keputusan ekonomi "akan mengarah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan". Bandingkan dengan muslim ethic yang tertuang dalam konsep Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Dimana dibalik harta atau kekayaan seorang muslim, melakat padanya bahagian orang miskin (mustahik).
Perubahan hubungan patron-klien di Asia Tenggara sebagaimana yang dikemukakan oleh Scoot, terjadi di arena hubungan sosial, politik dan ekonomi. Secara sederhana, hubungan patron-klien sangat tergantung pada posisi tawar relatif dari kedua pihak; seberapa jauh klien tidak membutuhkan bantuan dan perlindungan dari patron, dan sebarapa jauh patron tidak membutuhkan bantuan tenaga dan jasa dari klien? Posisi tawar relatif dari masing-masing pihak, pada gilirannya, sangat dipengaruhi oleh perubahan struktural seperti kelangkaan tanah, peralihan ke pertanian komersial, perluasan kekuasaan negara, dan pertumbuhan penduduk. Struktural sosial di Asia Tenggara pra-kolonial cenderung untuk membatasi tingkat ketergantungan pribadi dan untuk mencegah keseimbangan pertukaran yang bergerak secara radikal demi patron. Ketersediaan mekanisme sosial alternatif seperti kerabat dalam desa, keberadaan tanah yang tidak diklaim, dan tidak adanya dukungan luar yang kuat untuk pemegang kekuasaaan lokal, berfungsi untuk memberikan jaminan minimal untuk klien/petani.
Terjadinya perubahan politik dan ekonomi di bawah pemerintahan kolonial, secara sistematis menggerogoti pertukaran dan posisi tawar relatif klien/petani, khususnya di daerah dataran rendah yang paling terpengaruh oleh administrasi kolonial dan pertanian pasar. Seiring dengan semakin terstratifikasi dan terpolarisasinya serta masuknya sistem monetesisasi dalam kehidupan masyarakat di pedesaan membuat hubungan resiprositas dan eksploitasi antara patron dan klien secara perlahan mulai mengendur. Hubungan sosial ekonomi di desa mulai diatur oleh mekanisme pertukaran uang/upah. Akibatnya, jaminan sosial dari ketergantungan pribadi klien atas patron mulai mengendur sehingga legitimasi patronpun semakin memudar.
Kasus di Amerika Latin menunjukkan bahwa pemilik toko-toko garmen dan tukang kulit di Andes Ekuador rela menggeser kesetiaan keagamaan (dari katolik ke protestan), demi untuk menghapus kewajiban sosial yang berhubungan dengan gereja Katolik dan organisasi-organisasi lokal. Alasannya, bahwa etika Protestan mendorong mereka untuk pencapaian kewirausahaan lebih besar atau mereka menemukan doktrin Injil lebih kompatibel dengan usaha mereka. Norma kolektif, dan solidaritas masyarakat sering membatasi ruang lingkup tindakan pribadi sebagai biaya akses terhadap sumber daya ekonomi.
Kasus lainnya menunjukkan bahwa konflik yang dialami oleh remaja Haiti di Amerika terpecah antara harapan orang tua untuk sukses melalui pendidikan dan budaya pemuda dalam kota yang menyangkal hal seperti itu. Orang tua Haiti ingin anak-anak mereka untuk melestarikan budaya dan bahasa mereka ketika mereka beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Namun, karena keterbatasan biaya anak-anak Haiti harus bersekolah di tempat yang mensosialisasikan nilai-nilai yang berbeda dengan harapan orang tuanya. Mereka sering diejek sama teman-teman karena aksen Haiti mereka, sehingga banyak diantara anak-anak Haiti tersebut melebur dengan nilai-nilai yang dibawah teman-teman Amerika-nya. Ketika hal ini terjadi, modal sosial berdasarkan jaringan komunitas imigran menjadi hilang. Sejauh bahwa solidaritas masyarakat secara eksklusif didasarkan pada pandangan yang berlawanan dengan mainstream, mereka yang berusaha untuk membuatnya melalui cara konvensional seringkali dipaksa untuk mengadopsi pendapat mayoritas yang bertentangan dengan kelompok mereka sendiri.
Berbagai kasus menunjukkan adanya pergeseran rasionalitas sosial ke rasionalitas formal seperti yang terjadi pada kasus Amerika Latin, Asia Tenggara, Bali dan Jawa sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Pergeseran rasional tersebut lebih disebabkan karena kemapanan ekonomi yang dialami oleh masing-masing aktor ekonomi di level atas. Sedangkan sebagian besar aktor ekonomi yang belum mapan secara ekonomi (level bawah) tetap setia dengan rasionalitas sosial untuk kasus-kasus Amerika Latin, Asia Tenggara, Bali dan Jawa seperti yang terdapat pada bacaan yang dikaji.
Daftar Pustaka
Booth, W. J. 1994. On the Idea of Moral Economy. The American Political Science Review, Vol. 88/3, pp. 653-667.
Granovetter, M. 1985. “Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness. American Journal of Sociology”. Vol. 91, pp. 481-510.
Granovetter, M., & Sweddberg, Richard (edit). 1992. The Sociology of Economic Life. Boulder, San Francisco, Oxford: Westview Press.
Geertz, C. 1983. “Culture and Social Change: The Indonesian Case”. Man, Vol. 19. pp. 511-532.
_____,.1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Portes, A. and Sensenbrenner. J. 1993. “Embeddedness and Immigration: Notes on the Social Determinants of Economic Action”. American Journal of Sociology, Vol. 98/6, pp. 1320-50
Scott, J.C. 1972. “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia”. Journal of Asian Studies, Vol. 32/1, pp. 5-37.
_____,. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Diterjemahkan Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.
Rabu, 02 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar