TEORI INTERAKSIONIS SIMBOLIK
DARI GEORGE HERBERT MEAD
Oleh: Muhammad Syukur
A. Pendahuluan
Goerge Herbert Mead lahir di South Hatley Massachusetts 27 Februari 1863 dan ia meninggal dunia pada tahun 1931 dalam usia 68 tahun (Raho, 2007, Henslin, 2007). Mead mendapatkan pendidikan terutama dibidang filsafat dan aplikasinya terhadap kajian psikologi sosial. Sewaktu Mead masih kecil, ia pindah ke Oberlin, Ohio, tempat Seminari Teologi Oberlin, dimana ayahnya Hiram Mead, menjadi pengajar ditempat itu. Arus pemikiran Mead banyak dipengaruhi oleh filsafat pragmatism dari John Dewey dan behaviorisme psikologis (Ritzer, 2007). Disamping itu, Mead juga banyak terpengaruh dengan teori evolusi Darwin, namun Mead tidak menganjurkan pendekatan laissez-faire dalam pertarungan antara yang kuat dan yang lemah, juga dia tidak melihat usaha-usaha perubahan sosial itu berjalan sesuai dengan hukum-hukum alamiah (Johnson, 1981) . Prinsip teori Darwin yang diterima oleh Maed adalah organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan melalui proses ini bentuk dan karakteristik organisme mengalami perubahan yang terus menerus. Pandangan Mead tentang pikiran atau kesadaran manusia (mind or human consciousness) sejalan dengan kerangka teori Darwin.
Mead menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mengajar di Universitas Chicago. Berbagai artikel pernah ia tulis dan beliau tidak pernah menulis sebuah buku. Bukunya yang berjudul Mind, Self and Society diterbitkan oleh muridnya sesudah Mead meninggal. Buku tersebut merupakan kumpulan bahan kuliah yang diberikannya selama mengajar di Universitas Chicago. Dalam buku tersebut, Mead banyak menuangkan buah pemikirannya mengenai “pikiran, diri dan masyarakat” yang menyebabkan ia dikenal sebagai teoritikus ulung dalam sejarah interaksional simbolik khususnya teori sosiologi umumnya. Seperti apa sesungguhnya analisis Mead tentang hal itu? Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan menguraikan konsep penting dalam teori interaksional simbolik dari George Herbert Mead.
B. Pikiran dan Komunikasi
Pikiran (mind) menurut Mead adalah sebagai suatu proses sosial dan bukan sebagai benda. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Menurut Mead, pikiran manusia secara kualitatif berbeda dengan binatang. Dinamika proses interaksi dapat dicontohkan dalam “percakapan isyarat” (gestural conversation) pada binatang (Turner, 1998: 346). Misalnya, dua ekor anjing yang terlibat dalam perkelahian sebetulnya cuma melakukan tukar-menukar isyarat, tanpa bermaksud memberikan pesan. Aksi dari anjing yang satu akan menimbulkan reaksi pada anjing yang lainnya. Kemudian reaksi dari anjing yang kedua menjadi aksi yang menimbulkan reaksi pada anjing yang pertama dan seterusnya. Tidak ada keterlibatan pikiran di dalamnya dan tidak terpikirkan oleh anjing yang pertama bahwa dengan mengeramkan gigi, dia mau menyampaikan pesan kepada anjing kedua” Awas kau, saya mau menerkam anda”. Sekalipun ada manusia yang bertindak dengan skema demikian, yakni aksi dan reaksi, namun kebanyakan tindakan manusia melibatkan suatu proses mental/pikiran. Artinya antara aksi dan reaksi terdapat suatu proses yang melibatkan kegiatan mental/pikiran.
Contoh kasus dalam kehidupan manusia misalnya, dalam perkelahian dua orang manusia, apabila orang pertama mengepalkan tinju, maka kepalan tinju bukan sekedar satu sikap atau isyarat (gesture) melainkan satu yang sarat dengan makna atau arti. Karena simbol yang sama bisa dimaknai berbeda, yakni tergantung kepada setting dimana seseorang itu mengepalkan tinjunya. Misalnya apabila dua orang sedang marah lalu mengepalkan tinjunya, maka kepala tinjunya itu bisa bermakna bersifat ancaman. Tetapi bila seorang politisi berkampanye didepan massa pendukungnya dan mengepalkan tinjunya, maka kepalan tinju dari sang politisi itu bisa bermakna pemberi semangat.
Simbol-simbol yang mempunyai makna tersebut bisa berbentuk gerak fisik (gesture) tetapi bisa juga dalam bentuk bahasa. Kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan bahasa merupakan hal yang membedakan manusia dengan binatang. Perkembangan isyarat suara, terutama dalam bentuk bahasa merupakan faktor paling penting dalam perkembangan kehidupan manusia. Kekhususan manusia di bidang isyarat (bahasa) inilah pada hakikatnya yang bertanggung jawab atas asal-mula pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan manusia sampai sekarang (Ritzer, 2007: 277).
Guna mempertahankan keberlangsung kehidupan sosial, maka para aktor harus menghayati simbol-simbol dengan arti yang sama (Raho, 2007: 100). Proses-proses berfikir, bereaksi dan berinteraksi timbul karena simbol-simbol dalam kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan membangkitkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu maupun pada orang yang bereaksi terhadap simbol-simbol itu (Collins, 1994).
Mead juga menekankan pentingnya fleksibilitas dari akal-budi/pikiran (mind) itu Selain menghayati simbol-simbol yang sama dengan arti yang sama, fleksibilitas juga memungkinkan interaksi. Manusia kadang-kadang terlibat dalam percakapan isyarat tanpa mereka harus berfikir terlebih dahulu. Contohnya dalam pertandingan tinju di mana banyak tindakan dan reaksi yang terjadi di mana seorang petinju secara naluriah menyesuaikan diri terhadap tindakan petinju kedua. Tindakan tanpa disadari seperti ini oleh Mead disebut sebagai isyarat “nonsignifikan”. Hal mendasar yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan untuk menggunakan gerak isyarat yang “signifikan” atau yang memerlukan pemikiran di kedua belah pihak (aktor) sebelum bereaksi. Isyarat suara menjadi sangat penting peranannya dalam pengembangan isyarat yang signifikan.
Kemampuan manusia untuk menggunakan simbol suara yang dianut bersama, memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik saja. Sesungguhnya, kemampuan ini berarti bahwa dunia dimana manusia hidup bukanlah sekedar dunia fisik saja, melainkan dunia simbol yang dikonstruksikan (Johnson, 1981: 14).
Menurut Mead, hubungan antara komunikasi dengan kesadaran subyektif sedemikian dekatnya, sehingga proses berfikir subyektif atau refleksi dapat dilihat sebagai sisi yang tidak kelihatan (covert) dari komunikasi itu. Hal ini meliputi tindakan bercakap-cakap dengan diri sendiri. Percakapan ini tidak terpisahkan dari keterlibatan orang dalam hubungan sosialnya atau dengan perilakunya yang nyata (overt). Pikiran atau kesadaran akan muncul dari proses penggunaan simbol secara tidak kelihatan (covert), khususnya simbol-simbol bahasa. Manusia memikirkan tindakan-tindakan yang potensial lebih dahulu dari pelaksanaannya dan menilainya menurut konsekwensi-konsekwensi yang dibayangkan terlebih dahulu (anticipated), termasuk reaksi-reaksi yang mungkin muncul dari orang lain. Reaksi seseorang terhadap suatu ransangan lingkungan akan berbeda-beda dan sangat tergantung pada kebutuhan tertentu atau dorongan yang penting pada waktu itu serta hakikat kegiatan yang sedang berlangsung dimana individu itu terlibat. Hal ini berhubungan dengan kemampuan manusia dalam interpretasi subyektif dan perhatiannya yang selektif. Dengan kata lain ransangan lingkungan yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda untuk orang yang berbeda, atau untuk orang sama pada waktu yang berbeda. Contohnya, sate kambing (lingkungan) yang tersedia diatas meja makan akan dimaknai sebagai sebuah makanan lezat bagi si A yang lapar dan tidak mempunyai penyakit, tetapi bagi si B yang mempunyai tekanan darah tinggi (hipertensi), maka sate kambing itu akan dimaknai sebagai makanan yang berbahaya bagi dirinya. Ketika dilain waktu kembali dihidangkan makanan yang sama (sate kambing) dimana si A memiliki penyakit maag, maka makan sate kambing tersebut akan dimaknai sebagai makanan yang berbahaya bagi dirinya dan bagi si B yang sudah sembuh penyakit hipertensinya, maka sate kambing tersebut akan dimaknai sebagai makanan lezat dan bermanfaat bagi dirinya.
C. Konsep Diri (Self) dan Pembentukan Kepribadian
Salah satu konsep Mead yang cukup penting adalah perbedaan antara “I” dan “Me”, yakni antara diri sebagai subyek dan diri sebagai obyek. Diri sebagai obyek digambar oleh Maed sebagai “Me”, sedangkan diri sebagai subyek digambarkan sebagai “I”. “I” merupakan aspek diri yang bersifat non reflektif. I merupakan respon terhadap sebuah perilaku aktual tanpa proses pertimbangan. Jadi, jika ada aksi, dia langsung bereaksi tanpa melibatkan pikiran atau pertimbangan. Tetapi apabila diantara aksi dan reaksi itu ada pertimbangan pikiran, maka pada waktu I telah menjadi Me. Diri sebagai subyek yang bertindak (“I”) hanya ada ketika saat bertindak itu terjadi. Ketika kemudian dia melihat kembali tindakannya itu, maka pada waktu itu “I” telah menjadi “Me”.
Umumnya seseorang bertindak berdasarkan “Me”nya, yakni berdasarkan norma-norma dan harapan-harapan orang lain. Namun dalam bertindak, seorang actor tidak seluruhnya dipengaruhi oleh “Me” dengan refleksi dan pertimbangan-pertimbangan itu. “I” adalah juga aspek diri dimana ada ruang untuk spontanitas. Atas dasar hal ini, ada muncul tindakan spontanitas dan kreatifitas yang lahir dari “I”. Tindakan spontanitas dan kreatifitas muncul di luar harapan orang lain, di luar norma-norma yang telah bersenyawa di dalam “Me”.
Lebih lanjut Mead mengemukakan bahwa kemampuan untuk memberikan jawaban kepada diri sendiri sebagaimana ia memberi jawaban terhadap orang lain, merupakan kondisi penting dalam proses perkembangan pikiran (Turner, 1998: 347). Dalam hal ini, diri (self) sebagaimana pikiran (mind) bukanlah suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai beberapa kemampuan seperti:
1. Kemampuan untuk memberikan jawaban atau tanggapan kepada diri sendiri sebagaimana orang lain juga memberikan jawaban atau tanggapan.
2. Kemampuan untuk memberikan jawaban sebagaimana generalized order atau aturan, norma-norma, hukum memberikan jawaban kepadanya.
3. Kemampuan untuk mengambil bagian dalam percakapannya sendiri dengan orang lain
4. Kemampuan untuk menyadari apa yang sedang dikatakannya dan kemampuan untuk menggunakan kesadaran itu untuk menentukan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya (Raho, 2007: 102).
Selanjutnya menurut Mead, diri (self) itu mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi. Ada tiga tahap yang dilalui dalam proses sosialisasi itu yakni, tahap pertama adalah bermain (Play Stage). Pada tahap ini, seorang anak bermain dengan peran (role) dari orang-orang yang dianggap penting olehnya. Misalnya ketika anak bermain rumah-rumahan biasanya anak laki-laki mungkin akan memainkan peran ayah, sedangkan anak perempuan akan berperan sebagai ibu. Anak laki-laki mengambil kayu bakar sementara anak perempuan memasak, bahkan mereka bisa memainkan peran-peran lain dalam masyarakat seperti, polisi, suster, guru dan lain-lain. Dalam proses bermain ini seorang anak akan mencoba mengambil peran orang lain entah sebagai ayah, ibu, polisi, guru dan lain-lain. Meskipun dalam tahap bermain, namun tahap ini menjadi penting karena melalui permainan itu, anak berupaya bertingkah sesuai dengan harapan orang lain dalam status tertentu yang disandangnya dalam permainan.
Tahap kedua, adalah tahap Pertandingan (Game Stage). Pada tahap ini, terlibat dalam suatu organisasi yang cukup tinggi. Para peserta dalam sebuah pertandingan dituntut mampu menjalankan peran orang-orang yang berbeda secara serentak dan mengorganisasinya dalam suatu keseluruhan. Dalam hal ini setiap pemain harus mempertimbangkan peranan orang lain suatu kelompok. Contoh kasus adalah permainan sepak bola, seorang pemain bola dalam menggiring bola harus memperhitungkan posisi lawan, kawan, dan posisinya sendiri sebelum ia memutuskan apa yang harus diperbuat pada langkah berikutnya. Sementara itu, pemain yang sama juga harus memperhatikan aturan-aturan dalam permainan sepak bola. Misalnya dia tidak bola mengganjal lawan, hands ball, maupun memberikan bola pada teman yang berada pada posisi offside. Dalam proses pertandingan, seorang anak belajar sesuatu yang melibatkan orang banyak dan sesuatu yang impersonal yaitu aturan-aturan atau norma-norma.
Tahap Ketiga, adalah Generalized Order (keteraturan sosial). Pada tahap ini, seorang anak dituntut memenuhi harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, dan standar-standar umum yang berlaku di masyarakat. Tingkah laku anak pada tahap ini diarahkan pada standar-standar umum yang berlaku di masyarakat atau norma-norma dalam masyarakat. Contoh kasus: dikampung saya anak sering mengambil air untuk kepentingan orang tuanya karena tekanan generalized order. Anak-anak belajar suatu norma atau nilai bahwa membantu orang tua merupakan tindakan yang baik dan mulia. Pada tahap terakhir ini, anak menilai tindakannya berdasarkan norma-norma umum yang berlaku di masyarakatnya.
D. Masyarakat
Pandangan G.H. Mead menganai masyarakat, tidaklah sehebat pandangannya mengenai “diri” dan “pikiran”. Ketika Mead mengalisis mengenai masyarakat ia tidak melihat masyarakat dalam skala yang luas atau dalam struktur yang makro seperti yang dilakukan oleh Marx dan Durkheim. Masyarakat dalam kajian Mead tidak lebih semacam organisasi sosial di mana pikiran (mind) dan diri (Self) timbul (Turner, 1998: 349). Mead menganggap masyarakat itu sebagai pola-pola interaksi. Sedangkan pandangannya mengenai lembaga sosial dianggap sebagai respon yang biasa saja dari adanya interaksi antara manusia.
Lebih lanjut Mead mengemukakan bahwa masyarakat itu ada sebelum individu dan proses mental atau proses berfikir muncul dari masyarakat. Esensi suatu masyarakat harus ditemukan di dalam aktor dan tindakannya. Kehidupan bermasyarakat adalah keseluruhan aktivitas manusia yang sedang berlangsung. Namun demikian masyarakat tidak dibuat dari tindakan yang terisolasi, akan tetapi ada tindakan kolektif di mana individu-individu salaing menyesuaikan tindakan mereka satu sama lain (Raho, 2007:115). Dengan kata lain, bahwa mereka saling mempengaruhi dalam melakukan tindakan. Mead menyebut hal ini sebagai social act (perbuatan sosial).
E. Penutup
Mead merupakan tokoh yang sangat penting dalam perkembangan teori interaksionis simbolik. Karya-karyanya banyak mengilhami pemikiran teoritikus interaksional simbolik lainnya seperti, W.I. Thomas, Herbert Blumer, C.H. Cooley dan Erving Goffman. Karyanya mengenai Self, Mind, and Society merupakan karya terbesar yang dibuat Mead dalam melihat masyarakat dari sudut pandang interaksi.
Menurut Mead, hal mendasar yang membedakan antara manusia dan binatang, adalah manusia punya kemampuan berfikir sebelum merespon sesuatu. Kemampuan berfikir manusia dibentuk melalui interaksi sosial dan dalam berinteraksi manusia mempelajari arti dan makna simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikirnya. Manusia juga memiliki kemampuan mengubah makna simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi yang mereka hadapi.
F. Daftar Pustaka
Collins, Randall, 1994. Four Sociological Tradition. New York: Oxford University Press.
Henslin, James M. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Edisi 6. Alih Bahasa oleh Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga.
Johnson, Doyle Paul. 1989. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid II. Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George and Goodman, Douglas J. 2007. Modern Sociological Theory. Diterjemahkan oleh Alimandan. Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.
Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth Edition. United States of America: Wadsworth Publishing Company.
Kamis, 26 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar