FOTO-FOTO

FOTO-FOTO
MY FAMILY

Kamis, 26 November 2009

TRADISI BERFIKIR DURKHEMIAN DALM KARYA CLAUDE LEVI STRAUSS

TRADISI BERFIKIR DURKHEIMIAN DALAM
KARYA CLAUDE LEVI-STRAUSS
Oleh: Muhammad Syukur
A. Pandahuluan
Emile Durkheim sebagai pelatak dasar paradigma fakta sosial merupakan tokoh sentral dalam sejarah awal perkembangan sosiologi. Durkheimlah yang berhasil menjadikan sosiologi sebagai ilmu bersifat otonom terlepas dari pengaruh filsafat dan psikologi sosial dan mendapat pengakuan secara akademik. Kerja keras Durkheim itu ditunjukkan lewat karyanya The Rule of Sociological Method (1895). Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial itu merupakan sesuatu yang benar ada (riil) dan memiliki kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu (Ritezer dan Goodman, 2004). Dalam karya Durkheim selanjutnya yaitu Suicide (1897), ia mengatakan bahwa terdapat hubungan antara perilaku bunuh diri dengan fakta sosial lainnya. Asumsinya adalah sifat dan perubahan fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri. Pemikiran Durkheim yang demikian, turut memberikan pengaruh dalam karya Levi-Strauss.
Karya Durkheim The Devision of Labour in Society (1893) membahas mengenai apa yang membuat masyarakat modern dan masyarakat tradisional bisa terintegrasi. Hasil kajian Durkheim menunjukkan bahwa masyarakat primitif dipersatuan adanya kesadaran kolektif yang kuat (solidaritas organik) atau hubungan kekeluargaan yang kuat, sementara pada masyarakat modern dimana pembagian kerja semakin ruwet, maka yang mengikat manusia yang satu dengan manusia lainnya adalah hubungan saling ketergantungan (solidartitas mekanik). Pemikiran Durkheim seperti ini, memberikan pengaruh yang cukup besar dalam teori aliansi dari Claude Levi-Strauss.
Karya Durkheim lainnya yang juga turut berpengaruh dalam pemikiran Claude Levi-Strauss adalah bukunya yang berjudul The Elementary Forms of Religious Life (1912). Dalam buku ini, Durkheim tetap menuruskan tradisi berfikir fakta sosialnya, namun bergesar pandangan dari fakta sosial yang bersifat material ke fakta sosial yang bersifat nonmaterial yakni agama. Hasil Kajian Durkheim menunjukkan bahwa sumber agama itu berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan, khsusunya dalam kasus yang disebut totemisme. Dalam agama primitif (totemisme) ini adalah benda-benda seperti tumbuhan-tumbuhan dan binatang didewakan. Totemisme dilihat oleh Durkheim sebagai tipe khusus dari fakta sosial nonmaterial, sebagai bentuk kesadaran kolektif. Agama dalam pandangan Durkheim merupakan cara masyarakat memperlihatkan dirinya dalam bentuk fakta sosial yang bersifat nonmateri. Tradisi berfikir ini juga memberikan andil dalam karya-karya Claude Levi-Straus seperti akan penulis sajikan dalam pembahasan makalah ini.
B. Teori Aliansi Dari Claude Levi-Strauss
Aliansi teori (General Theory of Exchange) adalah nama teori yang diberikan untuk metode struktur yang memperlajari hubungan kekerabatan. Levi Strauss sebagai pentolan teori ini mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Elemetary Structures of Kinship (1949) menentang teori fungsionalisme Radcliffe Brown. Studi Levi-Strauss mengenai aliansi tersebut dilakukan pada masyarakat di luar Eropa, dimana ia melihat hubungan yang erat antara kerabat dan afinitas. Kedua lembaga itu saling bertolak belakang, namun sesungguhnya saling melengkapi satu sama lain. Hal ini memunculkan klasifikasi dunia sosial secara matrimonial. Teori aliansi berusaha memahami pertanyaan mendasar tentang hubungan antara individu, atau apa yang membentuk masyarakat.
Perkawinan aliansi merujuk pada arah saling ketergantungan yang diperlukan dari berbagai keluarga dan garis keturunannya. Pernikahan sendiri diartikan sebagai bentuk komunikasi antar keluarga. Teori aliansi didasarkan pada tabu (incest) dimana setiap keluarga tidak dibolehkan untuk kawin dengan anggota keluarganya sendiri, akan tetapi diharuskan kawin dengan di luar anggota keluargnya (Collins, 1994). Kondisi ini melahirkan bentuk perkawinan yang bersifat eksogami. Prinsip tabu ini mendorong setiap anggota keluarga yang akan melaksanakan perkawinan keluar dari lingkungan keluarganya untuk mencari pasangan hidupnya. Seorang anggota keluarga yang menyerahkan anggota keluarga perempuannya untuk menikah diluar anggota keluarganya berhak pula mendapatkan seorang perempuan dari keluarga yang bersangkutan meskipun tidak segenarasi. Fenomena ini mengambil bentuk adanya “sirkulasi perempuan” yang menghubungkan berbagai kelompok sosial di dalam suatu masyarakat. Levi-Straus berpendapat bahwa kekerabatan didasarkan pada persekutuan antara dua keluarga yang terbentuk ketika wanita dari satu kelompok kawin dengan laki-laki diluar kelompoknya.
Model pertukaran perkawinan antar kelompok sosial ini merupakan dasar terbentuknya masyarakat. Kondisi ini dimungkinkan karena perkwaninan diluar kelompok akan menciptakan hubungan kekelurgaan yang akan melahirkan solidaritas diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.
C. Strukturalisme Claude Levi-Strauss
Pandangan Eropa terhadap dimensi kehidupan sosial seperti konsepsi Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia mendahului esensi manusia sebagai subjek, manusia adalah mahluk yang bebas, otonom (subjektifitas). Sementara itu, Claude Levi Staruss (yang juga orang Perancis) mengungkapkan konsepnya dengan mengatakan bahwa manusia tidak sebebas apa yang telah dikemukakan Sartre. Bagi Levi Strauss, manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan dan kebebasan total, tetapi ada struktur yang selalu berada dibalik gejala dan tanpa disadari menentukan pilihan-pilihan partikular individu. Sampai pada perkembangan sejarah teori hingga kini Strukturalisme selalu diidentikkan dengan Levi Strauss yang telah berhasil mengembangkan paradigma yang terbilang sangat fenomenal dalam pendekatan kebudayaan. Lebih dari itu semua upayanya dalam mengajarkan kepada kita tentang apa sesungguhnya kebudayaan. Meski begitu, banyak ahli antropologi yang mengkritiknya dengan menggagap bahwa kerangka teoritiknya terlalu menyederhanakan masalah serta pandangannya tentang sistem kekerabatan yang terlalu meremehkan martabat wanita (bias gender).
Levi Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya dan tidak ada kaitannya dengan fenomena itu sendiri, dengan kata lain struktur adalah relations of relations (relasi dari relasi) atau system of relation. Disinilah Levi Strauss berbeda pandangan dengan Radcliffe Brown yang mengatakan bahwa relasi-relasi empiris antar individu. Struktural yang telah dikembangkan oleh Levi Staruss juga tidak terlepas dari pengaruh tokoh dan pemikiran lain, yakni Karl Marx, Sigmund Freud dan ilmu geologi. Yang menarik dari pandangan Marx menurutnya adalah bahwa bentuk-bentuk kondisi dalam masyarakat (politik dan ekonomi) yang sekilas tampak kacau-balau seperti adanya pemogokan, kemiskinan, eksploitasi dan sebagainya, hal itu sesungguhnya dapat dirunut kedalam mata rantai sebab-akibat di bawah permukaan yakni sekitar pemilikan kapital, sarana produksi dan struktur kelas.
Sedang melalui Sigmund Freud menerangkan tentang “ketidaksadaran” dan kemungkinan memetakan struktur jiwa manusia atau biasa Levi staruss sebutkan dengan “human mind”, bahwa dari sedikit tanda-tanda yang muncul dalam suatu masyarakat (mitologi, ritual dan adat) dapat disusun sebuah gambar tentang sistem kebudayaan sebuah masyarakat. Levi Staruss juga senang dengan ilmu geologi yang mempelajari tekstur permukaan tanah. Ia kagum bahwasanya struktur bebatuan yang tersembunyi di bawah tanah dapat dipakai untuk menjelaskan tekstur permukaan bumi. Dari Marx, Freud dan ilmu geologi ini, Levi Staruss belajar bahwa fenomena di permukaan atau biasa disebutnya dengan “struktur luar”, yang tampak seadanya ternyata ditentukan oleh “struktur dalam” yang kurang lebih bersifat teratur dan tetap.
Selain ketiga hal tersebut yang paling mempengaruhi tentu saja adalah linguistik struktural. Seperti Ferdinand de Saussure yang merasa perlu mengkaji dan mengurai langue dan bukan Parole, Levi Staruss berpendapat bahwa kita perlu melampaui studi atas gejala yang ada di permukaan (misalnya mitos) dan mengurai logika generatif dalam sistem kultural. Penggunaan ilmu linguistik sebagai model dalam kajiannya dimungkinkan oleh keyakinan dan pandagannya bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan dalam membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan. Apakah material tersebut? Tak lain adalah relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. Baik bahasa maupun kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia sehingga ada hubungan korelasi diantara keduanya. Selain itu pula ada beberapa asumsi yang mendasari penggunaan paradigma linguistik struktural dalam menganalisis kebudayaan, yakni:
1. Dalam strukturalisme Levi Straus, beberapa aktifitas sosial seperti mitos, ritual-ritual, sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan sebagainya secara formal dapat dilihat sebagai bahasa yakni sebagai tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan dan keterulangan dalam fenomena-fenomena tersebut.
2. Kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia secara genetis terdapat kemampuan “structuring”, menyusun suatu struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapi.
3. Sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasi-relasinya dengan kata-kata lain pada suatu titik waktu tertentu (sinkronis), para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena lain pada suatu titik tertentulah yang menentukan makna fenomena tersebut..
4. Relasi-relasi pada struktur dalam dapat disederhanakan menjadi oposisi biner.
Levi-Strauss menyatakan bahwa sistem simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan yang bersifat universal antara alam dan kebudayaan. Pertentangan secara dualistik ini ditunjukkan bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara diakronik, sebagaimana terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan kebudayaan yang diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat dualistik; yaitu kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan berasal dari suatu transformasi kebudayaan (Turner, 1967). Hal ini secara amat jelas diperlihatkan contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle) (Levi-Strauss, 1969), dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan transformasi kebudayaan atau menjadi busuk dengan melalui transformasi alamiah. Simbol-simbol perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas bertindak sebagai kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi binari, yaitu melalui transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan sistem tetap tinggal bersifat dualistik dan statis pada kedua sumbunya. Kekuatan yang menyeluruh dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari ini dalam struktur mitos adalah suatu refleksi atau pencerminan dari “cara universal dalam mengorganisasi pengalaman sehari-hari” dan berfungsi untuk “menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak” (Cunningham, 1972: 229).
Menurut Levi-Strauss, struktur-struktur sosial yang terdapat di dalam berbagai masyarakat manusia memperlihatkan adanya persamaan-persamaan dalam hal bentuk struktural dan unsur-unsurnya karena telah didefinisikan, divalidasikan, dan diperantarai oleh proses pemikiran mitologi yang jalin menjalin dan ada dalam struktur mental manusia yang bersifat universal. Levi-Strauss mempertanyakan “kenyataan dan otonomi dari konsep kebudayaan” dan menganjurkan untuk memperlakukannya sebagai suatu “fragmen dari kemanusiaan”, atau sebuah bagian yang khusus atau yang dinamakannya sebagai “isolate” (Levi-Strauss, 1972: 35). Dengan kata lain, bagi Levi-Strauss konsep Geertz mengenai kebudayaan sebagai “ide yang memberi informasi” adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan secara konseptual.
D. Penutup
Levi-Strauss percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat membantu usaha memahami mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.
Pengkajian mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama serta upacara adalah pengkajian dalam kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam lingkungan masyarakat. Agama mempunyai berbagai fungsi penting yang terwujud dalam berbagai cara dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:
1. Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena sosial yang ada.
2. Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya; sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar bagi individu-individu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.
3. Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur sosial yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan yang penting dalam mengkoordinasi titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.
4. Untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut di atas dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan.
E. Daftar Pustaka
Collins, Randall, 1994. Four Sociological Tradition. New York: Oxford University Press.
Cunningham, Clark E.1972 “Order in the Atoni House”, dalam Reader in Comparative Religion, oleh: William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (ed), New York: Harper & Row, pp.116-135.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture, New York: Basic.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press
Levi-Strauss, Claude.1972. Structural Anthropology, London: Penguin.
-----------1969. The Raw and the Cooked, New York: Harper & Row.
Ritzer, George and Goodman, Douglas J. 2007. Modern Sociological Theory. Diterjemahkan oleh Alimandan. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.
Turner, Victor. 1967 The Forest of Symbols, Ithaca: Cornell University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar