FOTO-FOTO

FOTO-FOTO
MY FAMILY

Sabtu, 28 November 2009

TRADISI DURKHEMIAN DALAM TEORI MARCEL MAUSS

TRADISI DURKHEMIAN DALAM TEORI MARCEL MAUSS
Oleh: Muhammad Syukur
A. Pendahuluan
Marcell Mauss adalah adalah murid sekaligus keponakan dari Emile Durkheim. Berbagai esei panjang mengenai klasifikasi primitif telah ditulis oleh Mauss bersama Durkheim sepanjang karirnya. Mauss hidup dari tahun 1872 hingga 1950. Ia lahir di sebuah kota kecil bernama Lorraine, di Prancis dari suatu keluarga Yahudi (Koentjaraningrat, 1980: 102). Pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sangat kental mempengaruhi pandangan dari keponakannya (Marcel Mauss) mengenai prinsip pemberian hadiah.
Mauss bersama dengan H. Beuchat, M. David, A. Bianconni, R. Hertz, L. Levy-Bruhl, tergabung dalam sebuah majalah yang dipimpin oleh E. Durkheim bernama I’Annee Sociologigue. Di majalah inilah Mauss dan Durkheim banyak menulis esei panjang tentang kehidupan masyarakat primitif yang yang ditelitinya. Mauss menulis esei mengenai bentuk menyebar dan mengelompok menurut musim dari orang-orang Eskimo, berjudul Essai sur les Varions Saisonnieres des Societes Eskimos. Esai yang ditulis tersebut merupakan karangan penting untuk memahami konsep-konsep struktural fungsional pada ahli sosiologi Prancis.
Mauss adalah salah seorang sarjana diantara para sarjana kelompok studi I’Annee Sociologigue yang tidak meninggal dunia selama perang dunia I. Pada tahun 1925 ia kembali mengumpulkan suatu kelompok studi I’Annee Sociologigue dan mengaktifkan kembali penerbitan majalah tersebut. Salah Karya Mauss yang sengat terkenal adalah The Gift (1954) yang mengandung karangan mengenai fungsi dari pranata tukar-menukar hadiah dalam kehidupan masyarakat. Kedua karya yang dihasilkan oleh Mauss diluar karya yang dihasilkan bersama Durkheim, juga tidak terlepas dari tradisi berfikir ala Durkheim. Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan menguraikan tradisi berfikir Durkheimian dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Marcel Mauss.
B. Teori Pertukaran Marcel Mauss
Mauss dalam karya klasiknya The Giff (1954) mengemukan bahwa hadiah tidak pernah “bebas” diberikan tanpa ada kewajiban untuk membalasnya. Dalam sejarah peradaban manusia hadiah selalu menimbulkan kewajiban untuk terjadinya pertukaran yang bersifat timbal balik. Seseorang yang mendapat hadiah (pemberian) dari orang lain memiliki kewajiban untuk memberi balasan kepada orang telah memberinya hadiah, meskipun sifat pertukaran yang terjadi diantara mereka berlangsung tidak setara (Collins, 1994). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ada kekuatan apa dibalik hadiah yang diberikan seseorang sehingga menimbulkan kewajiban bagi si penerima hadiah untuk membalasnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut menurut Teori Mauss adalah sebuah "prestasi total", yang dijiwai dengan "mekanisme spiritual", yang melibatkan kehormatan baik pemberi dan penerima (istilah "prestasi total" atau fait social fact). Transaksi tersebut melampaui perpecahan antara spiritual dan material dengan cara yang menurut Mauss hampir "ajaib". Dalam hadiah yang dipertukarkan ada kehormatan dan harga diri dari pihak-pihak yang terlibat. Semakin mahal atau mewah hadiah yang diberikan, maka semakin kuat martabat itu ditegaskan.
Terkandung tiga kewajiban dalam teori pertukaran dari Mauss. Pertama, memberi hadiah sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial. Kedua, menerima hadiah bermakna sebagai penerimaan ikatan sosial. Ketiga, membalas dengan memberi hadiah dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan integritas sosial (Koentjaraningrat, 1980). Kewajiban yang terjadi dalam pertukaran hadiah itu bersifat resiprokal, sehingga nilai yang ada dalam hadiah itu secara umum membumbung. Makin mahal nilai hadiah, maka semakin bagus, sebab pihak-pihak yang terlibat (memberi – menerima – membalas) sedang dipertukarkan.
Teori gift exchange atau gift-giving dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954) mengemukakan bahwa dalam masyarakat primitif, interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat satu sama lain. Mereka membangun hubungan sosial yang bersifat face to face community interactions, hal ini tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange) dan memberi bingkisan (gift giving). Tukar-menukar hadiah menggambarkan suatu relasi harmonis di antara anggota masyarakat, melambangkan penghormatan/penghargaan sesama warga masyarakat, merefleksikan kohesivitas sosial yang kokoh, serta melukiskan kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah. Pemberian hadiah juga merupakan simbolisasi civic culture, social virtue, dan public morality di kalangan masyarakat tradisional. Bila seseorang diberi hadiah, ia memiliki kewajiban moral untuk membalas pemberian hadiah itu dengan nilai setara atau lebih sebagai ungkapan penghargaan dan aktualisasi nilai-nilai kebajikan sosial. Ini merupakan bentuk etika sosial yang menandai penghormatan kepada sesama warga masyarakat.
Pandangan Mauss mengenai hadiah atau pemberian tidak pernah “bebas” dalam artian selalu menuntut adanya kewajiban untuk membalas hadiah itu, sesungguhnya tidaklah selamanya benar. Contoh kasus yang penulis ungkapkan disini adalah seorang dermawan yang kebetulan lewat didepan pengemis jalanan lantas memberikan sesuatu hadiah kepada pengemis itu tentu amat sulit mendapat balasan dari pengemis yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena belum tentu ia bertemu lagi dengan pengemis dan bisa jadi orang dermawan tersebut tidak lagi mengenali muka pengemis yang telah diberinya hadiah. Dalam konteks ini, hadiah yang diterima si pengemis tidak menciptakan kewajiban untuk membalasnya kepada sang dermawan. Jadi tidak ada saling ketergantungan dan tidak terjadi integrasi sosial antara pengemis dengan dermawan.
C. Magis dalam Pandangan Marcel Mauss
Konsepsi Mauss mengenai intensifikasi integrasi sosial, ia kembangkan melalui konsep struktural fungsional. Mauss sendiri memang belum pernah mengunjungi Eskimo, tetapi ia telah membaca lebih dari 200 buah buku dan karangan mengenai masyarakat Eskimo. Karangan Mauss dan Beuchat mulai dengan suatu uraian geografi-ekologikal mengenai lingkungan alam kutub dari daerah pemukiman Eskimo. Kelompok–kelompok Eskimo yang menjadi bahan analisa mereka berjumlah 51 kesatuan dan tersebar dalam wilayah-wilayah tertentu (Koentjaraningrat, 1980).
Konsep morfologi sosial Mauss dan Beuchat menggambarkan dua bentuk morfologi sosial dari masyarakat Eksimo, yaitu morfologi sosial musim dingin dan morfologi sosial musim panas. Pada saat musim panas tiba, warga kelompok Eksimo berpencar. Keluarga-keluarga inti pergi berburu ke wilayah berburu masing-masing yang saling berjauhan tempatnya. Dalam wilayah berburu itu, keluarga-kelurga inti tadi berkeliling selama berbulan-bulan dengan membawa semua peralatan hidup mereka di atas sebuah penggeretan yang ditarik anjing. Mereka berkemah di tempat-tempat tertentu dalam tenda.
Ketika musim dingin tiba, semua keluarga inti dari kelompok warga Eksimo berkumpul kembali di pemukiman induk. Pada saat itu, beberapa keluarga inti yang berhubungan dekat bergabung menjadi keluarga luas dan tinggal bersama dalam rumah-rumah besar yang terbuat dari kayu. Serangkaian rumah besar seperti itu mempunyai suatu balai komunitas dimana selama musim dingin keluarga-keluarga luas yang menjadi anggotanya melakukan suatu rangkaian upacara keagamaan bersama. Upacara-upacara itu mengandung unsure tukar-menukar harta, makan bersama, menyanyi dan menari bersama hingga mencapai trance (Koentjaraningrat, 1980: 102). Upacara tersebut mempunyai fungsi untuk mempertinggi kesadaran kolektif dan mengintensifkan solidaritas sosial. Tradisi berfikir Mauss seperti jelas terpengaruh dari E. Durkheim mengenai asul-usul sebuah agama.
Durkheim mengemukakan teori tentang dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-t¬eori yang pernah dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya.
Teori itu berpusat pada pengertian dasar berikut:
a) Bahwa untuk pertama kalinya, aktivitas religi yang ada pada manusia bukan karena pada alam pikirannya terdapat ba¬yangan-bayangan abstrak tentang jiwa atau roh sebagai suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam ¬tetapi, karena suatu getaran jiwa, atau emosi keagamaan yang timbul dalam alam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu sentimen kemasyarakatan.
b) Bahwa sentimen kemasyarakatan dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan perasaan lainnya terhadap masyarakat di mana ia hidup.
c) Bahwa sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbul¬nya emosi keagamaan dan merupakan pangkal dari segala kelakuan keagamaan manusia itu, tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan laten, sehingga perlu dikobarkan sentimen kemasyarakatan dengan mengadakan satu kontraksi masyarakat, artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa.
d) Bahwa emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan membutuhkan suatu objek tujuan. Sifat yang menyebabkan sesuatu itu menjadi objek dari emosi keagamaan bukan karena sifat luar biasanya, anehnya, megahnya, atau ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum masyarakat. Objek itu ada karena terjadinya satu peristiwa secara kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu masyarakat masa lampau menarik perhatian orang banyak di dalam masyarakat tersebut. Objek yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga objek yang bersifat keramat. Maka objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (tirual value) dipandang sebagai objek yang tidak keramat (profane).
e) Objek keramat sebenarnya merupakan suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli Australia, misalnya, objek keramat dan pusat tujuan dari sentimen kemasyarakatan sering berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan. Objek keramat seperti itu disebut Totem. Totem adalah mengkonkretkan prinsip totem di belakangnya. Prinsip totem itu adalah suatu kelompok dalam masyarakat berupa clan (suku) atau lainnya (Kahmad, 2000).
Pendapat tersebut di atas merupakan pendapat pertama yang mengatakan bahwa agama berasal dari emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan. Pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti atau esensi dari religi, sedangkan ketiga pengertian lainnya; kontraksi masyarakat, kesadaran akan objek keramat berlawanan dengan objek tidak keramat, dan totem sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan dari inti kontraksi masyarakat itu. Objek keramat dan totem akan menjelaskan upacara, kepercayaan, dan metodologinya. Ketiga unsur itu menentukan bentuk lahir dari suatu agama.
Kasus kehidupan masyarakat Eskimo menurut Mauss dapat memberi kita pelajaran bahwa solidaritas sosial dari suatu masyarakat dapat saja mengendor dan menjadi intensif lagi menurut musim, sehingga perlu ada usaha–usaha khusus untuk berulang–ulang mengintensifkan kembali solidaritas sosial (Mauss, 2001). Salah satunya adalah sentiment keagamaan yang diintensifkan kembali oleh upacara keagamaan. Pemikian Mauss ini jelas dipengaruhi oleh pemikiran E. Durkheim mengenai asal usul sebuah agama dalam masyarakat.
Magis manurut Mauss adalah sisi lain dari fakta sosial, ia serupa dengan agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan magis dalam kehidupan masyarakat selalu berkonotasi kepada hal-hal yang ajaib dan magis memiliki ritual-ritual tersendiri seperti halnya dengan agama (Collins, 1994) . Beberapa ahli magis pada masyarakat primitif mampu menentukan nasib baik dan nasib buruk anggota masyarkatnya.
D. Penutup
Pemberian hadiah (The gift) pada masyarakat primitif yang diteliti oleh Mauss memiliki makna sebagai sumber perekat (integrasi) sosial antar warga masyarakat. Namun, masyarakat modern membuat interpretasi dan memberi makna baru tukar hadiah, dengan mengubah makna pemberian hadiah untuk memperlancar segala urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Masyarakat modern telah menyelewengkan fungsi sosial tukar hadiah sebagai instrumen untuk merekatkan hubungan antarwarga masyarakat. Penyelewengan makna pemberian bingkisan jelas bertentangan dengan moralitas publik, etika sosial, dan civic virtue yang berlaku di masyarakat primitif.
Morfologi sosial musim panas dan musim dingin dalam masyarakat Eskimo bukan lagi pengaruh ekologi semata-mata, melainkan pengaruh gagasan kolektif masyarakat yang belum berobah dan begitu berakar dalam kesadaran kolektif warganya sehingga mempunyai banyak refleksi dalam kehidupan sosial lainnya, seperti upacara keagamaan, sistem kekerabatan, kehidupan moral, adat-istiadat, dan pandangan hidup antar warga. Kasus kehidupan masyarakat Eskimo memberi pelajaran kepada kita bahwa solidaritas sosial dari suatu masyarakat dapat dan menjadi intensif kembali menurut musim. Untuk itu, perlu ada usaha-usaha khusus untuk mengintensifkan kembali solidaritas sosial dengan sentiment keagamaan melalui upacara keagamaan.
E. Daftar Pustaka
Collins, Randall, 1994. Four Sociological Tradition. New York: Oxford University Press.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press
Mauss, Marcell. 2001. A General Theory of Magic. Translated by Robert Brain. London and New York: Routledge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar